Pengikut

Kamis, 29 Oktober 2015

10 fakta bangsa indonesia selalu sering ditipu media

[1]. Tahun 1997 Soeharto menghadapi Krismon. Dia ingin menempuh solusi Krismon secara mandiri. Tapi media-media massa dan para pengamat ekonomi terus berkoar-koar: “Minta bantuan IMF! Minta bantuan IMF! Ini sangat darurat. Tidak ada jalan lain, minta bantuan IMF!” Begitulah teriakan media-media dan para pengamat. Akhirnya Soeharto menyerah. Dia tak sanggup hadapi tekanan opini media. Soeharto pun minta bantuan IMF sehingga ditanda-tangani LoI. Setelah LoI disepakati, ekonomi Indonesia ancur-ancuran, sampe sekarang. Direktur IMF sendiri dengan bangga mengklaim, bahwa dirinyalah yang telah menghancurkan Soeharto.
[2]. Tahun 1998 terjadi demonstrasi massal di seluruh Indonesia. Penggeraknya para mahasiswa kampus. Para demonstran didukung penuh oleh semua media, politisi, pengamat. Mereka serukan: “Soeharto mundur! Soeharto mundur! Gantung Soeharto!” Puncaknya pada Mei 1998 terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Akhirnya Soeharto pun menyerah, dia mundur. Sejak Soeharto mundur, masuklah bangsa Indonesia ke era Reformasi. Faktanya, sejak masuk zaman Reformasi, kehidupan rakyat Indonesia tidak lebih baik.
Sedikit komparasi data, biar anak-anak muda zaman sekarang tahu. Waktu itu harga beras termahal sekitar Rp. 1000/kg. Sekarang harga beras standar Rp. 10.000/kg. Harga bensin di era Soeharto sekitar Rp. 700,- per liter, sekarang hampir Rp. 7000,- per liter. Di era Soeharto listrik murah, biaya sekolah murah, buku paket diberikan/dipinjami oleh negara, biaya obat/klinik juga murah, mencari pekerjaan mudah, jenjang karier PNS/TNI/Polri jelas dan stabil. Jauh sekali dengan kondisi saat ini. Di era Reformasi, rakyat berpolitik secara bebas, tapi kehidupan sosial kaliren (sengsara).
[3]. Tahun 1999 Presiden BJ. Habibie mau ikut pencalonan sebagai presiden. Beliau baru memimpin menggantikan Soeharto sekitar 1,5 tahun. Melihat kenyataan itu media-media, pengamat, politisi, sepakat mengeroyok Habibie. “Jangan Habibie. Dia koruptor. Dia anak emas Soeharto. Pokoknya jangan Habibie.” Banyak sekali seruan untuk menghadang Habibie. Padahal dia terbukti berhasil mengendalikan kondisi bangsa setelah diamuk Krisis Moneter. Alhasil Habibie tak bisa menjadi presiden lagi karena dibarikade oleh kaum virus bangsa. Yang terpilih justru Gusdur. Namanya Gusdur, sudah lumpuh, buta, kontroversial, tak punya pengalaman memimpin negara. Akibatnya negara morat-marit gak karuan. Nyaris negara ini hancur kalau Gusdur lebih lama memimpin. Padahal media-media massa, pengamat, politisi, akademisi, dan sejenisnya itulah yang sebelumnya mengelu-elukan citra Gusdur. Terbukti, dia tak bisa apa-apa. Habibie yang berkualitas ditolak, Gusdur yang gak bisa apa-apa didaulat menjadi pemimpin.
[4]. Kondisi yang mengitari Jokowi saat ini mirip sekali seperti kondisi menjelang Pilpres 2004.  Waktu itu media-media massa, pengamat, politisi, akedemisi kacung sepakat mengelu-elukan SBY. “SBY harapan baru indonesia. Orang ini hebat. Santun, tegas, cerdas. Kasihan dia dizhalimi Megawati. Indonesia akan maju di tangan SBY. I love U full.” Begitulah segala puja dan puji mendukung SBY. MetroTV termasuk yang amat “I love U full” ke SBY. Ini semua terjadi karena SBY sudah direstui oleh jaringan pengusaha China asal Medan-Jakarta-Surabaya. Apa akibatnya setelah SBY jadi Presiden? Luar biasa, baru saja memimpin Indonesia “diberi hadiah” Tsunami terbesar sedunia. Dan rentetan bencana seolah tak ada habisnya di tangan orang ini. Tahun 2005 SBY naikkan BBM lebih dari 100 persen. Rakyat semua megap-megap.
[5]. Tahun 2009 SBY mencalonkan lagi. Sebenarnya potensi SBY kalah sangat besar, karena kepemimpinan dia selama 2004-2009 sangat menyengsarakan. Tapi SBY cerdik, dia pandai memanfaatkan media dan lembaga-lembaga surve untuk memenangkan citra. LSI, Saiful Mujani, Deny JA. termasuk yang sangat agressif mendukung SBY. Media-media TV juga terus mengelu-elukan SBY. SBY juga memainkan instrumen BLT untuk merebut simpati rakyat. Dan dia juga masuk ke sistem kalkulasi online KPU. Sistem software KPU inilah yang sangat mengancam proses pemilu secara jujur. Setelah SBY jadi presiden lagi, penderitaan rakyat semakin panjang dan lama. Selain itu banyak terkuak kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit-elit Demokrat.
[6]. Ada kejadian sangat aneh sekitar tahun 2008-2009, yaitu Mega Skandal Bank Century. Ketika itu SBY, jajaran menterinya, Boediono, para pengamat ekonomi UI, dan media-media partner secara intensif menipu publik: “Kalau Bank Century tidak diberi bailout, nanti akan menyebabkan dampak sistemik. Waktu itu sedang terjadi Krisis Global.” Padahal nilai aset Bank Century tidak ngaruh dalam industri perbankan nasional. Kalau pun bailout itu dibenarkan, mengapa dana talangan yang semula disepakati sekitar 600 miliar membengkak sepuluh kali lipat menjadi 6,7 triliun? Bahkan pencairan yang triliunan rupiah itu dilakukan di hari Sabtu dan Minggu, tanpa melapor Wapres (Jusuf Kall)? Tetapi SBY dan media-media partner terus berkilah “dampak sistemik”. Ya begitulah, rakyat terus ditipu, ditipu, dan ditipu lagi.
[7]. Media-media massa, pengamat, akademisi, politisi, juga berperanb sangat kuat dalam menggulirkan opini seputar Bibit-Chandra (dua ketua KPK). Waktu itu keduanya sedang berhadapan dengan Susno Duadji. Media mengangkat isu “Cicak Vs Buaya”. Semua media waktu itu sepakat berdiri di belakang Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Keduanya menyebut istilah “kriminalisasi KPK”. Alhasil kedua pimpinan KPK mendapat dipensasi hukum. Mereka tidak diadili atas tuduhan apapun. Padahal menurut Muhammad Nazaruddin, Chandra Hamzah pernah datang ke rumahnya, lalu menerima titipan uang. Terbukti kemudian pengakuan Nazaruddin sering terbukti di persidangan. Media-media massa dan pengamat begitu bernafsu membela Bibit-Chandra, sampai mereka lupa bahwa SBY sudah melakukan campur tangan hukum dengan membentuk tim pencari fakta. Itu pelanggaran tatanan kenegaraan.
[8]. Ingatlah saat pergantian Ketua PSSI, Nurdin Halid. Kami tak butuh apapun dari masalah sepak bola ini. Hanya ingin mengingatkan betapa bodohnya bangsa ini ketika ditipu media terus-menerus. Waktu itu media massa terus-menerus mendesak agar Nurdin mundur, diganti orang lain. Katanya, “Kalau Nurdin mundur, beres semua masalah PSSI.” Aksi-aksi suporter bola terjadi dimana-mana. Mereka menuntut Nurdin Halid mundur. Begitu hebohnya sampai sebagian bonek asal Surabaya sengaja membuat kemah di Senayan, di depan sekretariat PSSI. Lalu apa yang terjadi setelah Nurdin mundur? Apakah PSSI semakin solid? Apakah urusan sepak bola Indonesia semakin hebat? Ya semua sudah tahu, pengurus PSSI malah pecah dan saling menghujat. Kompetisi PSSI terbelah dua, LSI dan LPI. Konflik semakin tajam. Nasib PSSI tambah runyam. Sampai saat ini, akibat konflik itu masih ada.
[9]. Terkait perkembangan dakwah Islam. Media-media massa, para pengamat, politisi, akademisi, pejabat, dan seterusnya sepakat mengelu-elukan dai kondang, Aa Gym. Semua TV punya siaran terkait Aa Gym. Kalau bulan Ramadhan tiba, Aa Gym menjadi “raja media”. Aa Gym disukai karena: tak pernah bilang “orang kafir”, tak pernah bilang “orang sesat”, tak pernah bilang “Syariat Islam”, tak pernah menyinggug perasaan penganut agama lain, dan seterusnya. Tetapi ketika Aa Gym ketahuan melakukan poligami, seketika itu dia dihujat, dihajar habis, dikuyo-kuyo sampai tandas, dizhalimi sedalam-dalamnya. Alhasil Aa Gym merasa “sakit hati” dan tidak seramah dulu ke media-media massa. Masyarakat sebagai pengagum Aa Gym pun tinggal mengikuti saja. Apapun yang dikatakan media massa, mereka amini. Media bilang A, ya diikuti A; media bilang merah, diikuti merah; media bilang ‘kacau’, rakyat pun ikut berseru ‘kacau’. Kok gak meras malu ya…
[10]. Tahun 2012 Jokowi-Ahok jadi kandidat Gubernur DKI. Media-media, pengamat, politisi, juga ramai-ramai dukung keduanya agar jadi gubernur DKI. Semua sepakat Jokowi-Ahok harus gusur “kumisnya” Foke. Hanya beberapa lama setelah terpilih jadi gubernur, Jokowi keteteran. Ahok kerjaannya marah-marah mulu, seperti orang stress. Dan lebih parah lagi, Jokowi akhirnya lebih banyak bekerja untuk PERSIAPAN JADI PRESIDEN, bukan bekerja membereskan masalah DKI Jakarta. Lha, orang ini katanya jujur, amanah, rendah hati, tidak neko-neko; tapi justru kemaruk jabatan. Satu belum kelar, sudah nafsu ingin jabatan lain. Kata orang Sunda, ngurauk ku siku. Mau merengkuh apa saja dengan sikunya, karena saking rakus.
Sampai di sini kita jadi paham, bahwa memang rakyat kita begitu mudah dibodoh-bodohi. Sedangkan kaum cerdik-cendekia, para ilmuwan dan terpelajar, sibuk menyelamatkan urusan ekonomi masing-masing. Mereka tak berani turun ke landasan untuk mencerahi masyarakat. Untuk menyalakan suluh kebenaran. Mereka bersembunyi di balik segala kemapanan dan keenakan hidup yang sudah dinikmati.
Media-media massa, pengamat, politisi, akademisi bayaran, dan seterusnya mereka terus-menerus berdzikir dengan kata-kata: “Demi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.” Tapi kelakuan mereka busuk. Moral mereka lacur. Mereka gadaikan kehidupan rakyat dan bangsa, demi memenuhi syahwat hedonismenya. Kaum virus bangsa itu tak henti-hentinya menipu, menipu, menipu, dan menipu rakyat yang kebanyakan pelupa dan tidak kritis.
Ya Allah ya Rabbi, sampai kapan negeri ini terus dikuasai para penipu, penjilat, dan pengkhianat? Ya Allah haturkan ke tengah kami belas kasihan atas nasib berjuta saudara-saudara kami. Mereka manusia, mereka berharga, mereka punya kehidupan. Ya Allah ya Rabbi, selamatkan kami dan bangsa ini dari segala tipu daya para setan berwujud manusia. Ya Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qinaa adzaban naar. Amin Allahumma amin.
Salam hormat, kasih sayang, dan peduli bagi sesama anak bangsa yang lemah, tercecer, dan menderita. Haraplah kepada Allah Rabbul ‘alamiiin, ada masa depan baik menantimu, Saudaraku.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Tidak ada komentar: